" PAGINA MAKAN "

” PAGINA MAKAN “

Oleh; te. Ditaufiqrahman

“makan yang tidak dipertanyakan, tidak pantas untuk dilanjutkan”
(te.Ditaufiqrahman; 2007)

/1/

Asap api itu mulai mengepul saling kejar-mengejar untuk keluar lewat jendela ketika saya mau mulai memasak mie instant dan sesaat itu juga tanpa dikomando hp saya berbunyi, sms baru masuk, ” ted, geus makan, lamun acan antosan di payun nu biasa, saya geus nepi pasar sakedap deui “. Langsung saya matikan kompor, dan gegas pergi ke warung di depan sebagai ganti membalas sms; bahwa saya belum makan!.
Dalam perjalanan menuju warung, karena lumayan jauh dari tempat saya tinggal ke jalan raya dimana warung itu berada, saya berkata “hemat saya, urusan makan itu penting untuk dibicarakan, menjadi sebuah diskursus sebab… “.
Mari saya paparkan alasan logis dari gagasan tesis saya ini. “Makan”, dalam kamus besar bahasa Indonesia yang dikarang oleh Badudu-Zain, diartikan dengan 1) memasukan nasi (roti, kue dll) ke dalam mulut kemudian mengunyah-ngunyah dan menelannya; 2) memerlukan, membutuhkan (cont; operasionalisasi untuk pembangunan gedung Carrefour ini pastinya akan memakan biaya yang banyak); 3) minum (cont; sudah makan obat?).
Pada arti pertama, urusan makan tidak terlalu menjadi masalah, nggak menjadi problem, paling juga sakit gigi. Tetapi lain pembicaraannya ketika perkara makan ini sudah dikawinkan dengan dimensi kehidupan yang lain maka akan kelihatanlah apa persoalannya. Misalnya karena “tidak bisa makan” orang nekad maling motor, nyolong mobil, rampok toko perhiasan, karena tidak bisa makan orang dengan gampang untuk membunuh orang lain atau bahkan dirinya sendiri.
Dan lebih bagusnya lagi, kejadian yang saya sebutkan tadi itu, tidak hanya menimpa pada satu orang di bangsa ini tetapi ratusan, ribuan bahkan triliunan. Yang nyolong motor itu nggak sendirian, yang merampok itu nggak cuman seorang tapi banyak. Kalau kamu nggak percaya, coba lihat dan dengerin deh berita-berita, sebagai salah satu bukti, di media massa entah itu tv, koran ataupun radio; pernah nggak aksi kriminalitas “cuti” barang satu hari.
Dari hari ke hari hitungan kejahatan terus berganti, kalau acara tv bisa jadi ada siaran ulangnya, tetapi kejahatan nggak ada dan nggak bisa; semuanya live!. Masa iya, aksi pencurian yang hari Rabu disiarkan lagi pada hari Jum’at? ‘Kan nggak lucu. Hari rabu, aksi kriminalitas hari rabu sedangkan hari jum’at aksi kriminalitas hari jum’at. Kalau Ali Shari’ati mengatakan setiap hari adalah karbala, maka sekarang kita menyebutkan; setiap hari ada aksi kriminalitas.
Modus operandi aktor criminal yang kaya gitu itu biasanya disebabkan factor keterdesakan ekonomi atau singkatnya; “tidak bisa makan!”. Gini aja; pernah dengar nggak kalau orang nyolong motor itu karena hobi? Paling-paling kita menghujat; hobi kok nyolong motor! Hobi itu harus yang bagus-bagus seperti sholat, zakat, shaum, nraktir teman, berpikir.
Maka dengan kemudian urusan makan ini naik derajatnya menjadi urusan social. Itu pertama, kalau tadi, karena “tidak bisa makan” menjadi urusan social saja. Maka yang kedua, jangan aneh kalau urusan makan ini kemudian berkembang menjadi masalah social-ekonomi-politik dan budaya. Perkaranya sederhana; karena tidak bisa “makan enak”.
Penyakit tidak bisa “makan enak” ini, kebanyakan menjangkiti kelas social menengah ke atas; seperti pejabat pemerintah, dosen, pengacara dan lainnya. Misalnya, anggota DPR karena tidak bisa “makan enak” maka dia memutar kepala untuk menggelembungkan dana dan jadilah persoalan politik yang sering kita sebut dengan virus KKN. Artis karena penghasilannya kurang maka rela di foto telanjang, jadi persoalan budaya. Kiyai, karena pengen pamornya tinggi maka ngeluarin fatwa-fatwa yang aneh-aneh, jadi persoalan agama.
Pertanyaannya; apakah penghasilan formal mereka tidak mencukupi untuk “makan”? Lebih dari cukup, tetapi untuk “makan enak” nggak cukup. Maka untuk memenuhi kebutuhan “makan enak”, mereka mencari penghasilan yang non formal.
Orang yang “tidak bisa makan” dan tidak bisa “makan enak” ini bertumpuk di bangsa kita ini. Orang yang tidak bisa makan digolongkan kepada kelas menengah-bawah dan orang yang tidak bisa makan enak digolongkan kepada kelas menengah-atas, kelas ploretar dan borjuis begitu Marx menyebutnya. Rakyat menengah-bawah malah sering “nomboki” keperluan makan enak menengah-atas sehingga mereka sendiri terpaksa tidak bisa makan.
Dua kelas rakyat ini sama-sama dibelit dengan kebingungan, kelas menengah-bawah dibingungkan untuk mencari makan sedang menengah-atas dilinglungkan dengan dimana makan, persoalan ini simpelnya dirumuskan dalam pertanyaaan (menengah-bawah) apa besok bisa makan, (menengah-atas) besok makan apa dan dimana.

/2/

Kalau kita teropong dan tarik dari persoalan makro ke wilayah makro. Dengan tidak bermaksud menggeneralisir, problem sosialitas yang terjadi di sekitar dalam keseharian kita ternyata, hemat saya, berpangkal dari persoalan makan atau lebih tepatnya lagi adalah permasalahan tentang pemenuhan kebutuhan dasariah manusia, Freud menyebutnya, kebutuhan instingtif.
Dengan tesis ini, banyak pernyataan yang sekali lagi dapat kita amini. Benarlah Marx ketika mengatakan bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh kesadaran infrastrukturnya (kesadaran ekonomis), terbuktilah omongan Rendra bahwa memang kelaparan adalah burung gagak hitam yang sangat menyeramkan, benar adanya bahwa kefakiran membawa kekufuran dan masih banyak pernyataan lain yang dengan tegas menyatakan bahwa persoalan makan, permasalahan perut ini membawa malapetaka.
“Ada lima kebutuhan dasar manusia… ” demikian tutur Shihab ” dan kebutuhan itu saling kait-mengait, jalin-kelindan. Tak bisa kebutuhan kedua dipenuhi sebelum kebutuhan yang pertama terpenuhi lebih dulu, kebutuhan pertama yang mesti dipenuhi oleh manusia adalah kebutuhan fisiknya (badani)”.
Kebutuhan fisik ini mencakup makan, minum, tidur, hubungan seks singkatnya segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan fisik lainnya. Dikarenakan begitu mendesaknya kebutuhan fisik ini, maka orang akan terkesan menghiraukan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Tidak jarang kita mendengar seorang perempuan berani melacurkan diri untuk sekedar memenuhi kebutuhan makan anak-anaknya. Perempuan yang melacur secara tidak langsung telah menggadaikan kebutuhan manusiawinya yaitu kebutuhan akan harga diri, demi memenuhi kebutuhan fisik anaknya.
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan badaniah ini muncullah pelbagai macam masalah social, kriminalitas mulai dari perampokan, pembunuhan dan aksi-aksi criminal lainnya. Hal ini dikarenakan sarana/alat pemenuh kebutuhan fisik ini tidak bisa didapatkan (yaitu; makan atau makanan). “Namun baik dalam birokrasi maupun pasar” demikian tulis Budi Hardiman “tubuh-tubuh konformis dengan mudah dapat digerakkan dengan suatu kode operasional yang mengubah kenikmatan dan ancaman langsung menjadi termediasi, yaitu uang.
“Uang inilah” lanjutnya “yang menjadi motor dalam mesin hasrat untuk produksi dan konsumsi”. Disimpulkan dengan sangat sederhana bahwa pada akhirnya kebutuhan akan makan/makanan mengandaikan kebutuhkan alat dan sarana untuk memenuhinya dan sarana itu adalah uang. Kebutuhan makan sama saja dengan kebutuhan untuk memiliki uang. Sebab kini makanan tidak bisa didapatkan tanpa ada uang. Food is money!
Kekurangan sarana pemenuhan fisik, yaitu uang, ini bukan dikarenakan asing atau langkanya uang. Namun lebih disebabkan oleh perputaran uang yang hanya berkeliling di dikalangan tertentu. Perputaran yang hanya terpusat dalam satu locus ini lebih disebabkan karena sebagian orang yang “sudah bisa” makan kepengen “makan enak”. Makanya ada sebagian orang yang tidak kebagian makan, karena “jatah” makanannya sudah diambil oleh orang-orang yang kepingin makan yang lebih enak.
Namun, pada kali ini saya nggak mau membahas perputaran “makanan” yang berkutat pada satu poros ini, karena pembicaraan itu mesti mengandaikan kajian politis yang intens, yang menjadi pertanyaan dan perhatian saya sekarang adalah karena problema social, secara metaforis, salah satunya berasal dari persoalan makan-memakan ini, maka yang saya ajukan adalah perubahan cara pandang kita terhadap persoalan makan. Sehingga makan atau uang bukan perkara “tunggal” dalam kehidupan.
Memang, dalam zaman yang serba pragmatis-instant, ekonomis yang kadung segala sesuatunya sudah distandarisasi oleh materi yaitu uang hal ini musykil tetapi bukan berarti mustahil.

/3/

Dalam urusan makan ini sering pula kita dijebak pada pertanyaan eksistensial; makan untuk hidup atau hidup untuk makan, pertanyaan ini memang runyam menjebak tidak memberikan kesempatan pilihan jawaban karena memang tidak ada jawabannya. Pernyataan atau pertanyaan ini hampir mirip dengan; lebih dulu mana telur atau ayam?
Tak ada yang perlu dipusingkan dengan pernyataan makan untuk hidup atau hidup untuk makan. Orang hidup pasti membutuhkan makan untuk melangsungkan kehidupannya kecuali kalau dia mau mati. Orang yang makan dimungkinkan untuk hidup (hidup dalam artian jasadiah) daripada orang yang tidak makan, sebab makan atau tidak makan tidak menjamin kematian dan kehidupan seseorang.
Persoalannya sekarang adalah lebih pada, apa yang akan dilakukan setelah makan? Apakah menunggu lapar untuk kemudian makan lagi dan begitu seterusnya atau melakukan pekerjaan lain untuk memenuhi rasa lapar selanjutnya dengan kata lain melakukan pekerjaan untuk makan lagi.
Kalau begini aktivitas dan pola pikirnya, seluruh pekerjaan yang dilakukan oleh seluruh manusia, akan sia-sia. Entah itu dosen mengajar, penulis menulis, arsitek membuat rancang bangunan, ustadz berdakwah, seniman membuat puisi kalau semua ujung-ujungnya hanya untuk memenuhi kebutuhan purba instingtif manusia yaitu makan. Tak ubahnya dengan binatang yang hidup untuk sekedar memenuhi kebutuhan naluriahnya saja. Dimensi politik, budaya, social, ekonomi tak bedanya seperti rantai makanan antara singa, gagak dan kambing.
Sebab perjalanan hidup tak lain adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan dan salah satu pertanyaan yang mesti kita jawab saat sekarang ini adalah; aktivitas, tindakan atau pekerjaan apa yang akan kita lakukan saat jeda dari satu lapar ke lapar yang lain? Hela dari makan ke makan yang lain? Jawaban yang saya ajukan adalah berkarya; dengan vitalitas luhur untuk menunjukkan bahwa kita adalah manusia, beda dengan makhluk yang lain, bereksistensi, memiliki akal budi, akhirnya untuk menunjukkan bahwa kita adalah khalifah!
Seniman berkarya membuat puisi, cerpen, sajak, pementasan teater; cendikiawan berkarya menulis buku-buku, interpretasi kitab, mengeluarkan gagasan-gagasan genuine, segar dan cemerlang; tukang sepatu berkarya membuat sepatu yang baru dari yang pernah ada; tukang roti bakar membuat terobosan dengan pembuatan roti bakar yang benar-benar up to date dan unik. Semuanya berkarya dengan kejernihan dan kebersihan hati nuraninya, sampai-sampai dengan ungkapan satiris saya bisa menyebutkan bahwa kehamilan adalah buah karya dari suami-istri yang begadang tiap malam.
Hemat saya, urusan makan ini (demi kepentingan tulisan, untuk selanjutnya saya akan bergantian memakai kata makan dengan uang) akan sangat berimplikasi pada seluruh dimensi dan etos kehidupan yang lain.”Uang adalah pengasuh konformisme tubuh yang paling universal” demikian ungkap F Budi Hardiman, dalam Memahami Negativitas “pihak-pihak dengan ideology, agama, etnisitas yang bertentangan dapat menunda perseteruan dan bersekutu demi uang. Mulut akan bergerak seperti mesin penjawab, begitu uang bermain; demikian pula telinga akan menyelinap seperti mesin penyadap, begitu uang menggerakkannya”.
Dikarenakan kebutuhan fisik yang mendesak maka semua orang lamat-lamat melupakan misi eksistensial ini; yaitu keinginan untuk berkarya dalam bentuk apapun. Penulis dengan sengaja menggadaikan tulisannya hanya untuk mendapatkan honorarium, mahasiswa bercita-cita menjadi pekerja bukan memanggung amanah agent social of chang, seniman menjual karya seninya karena tak bisa bayar rumah kontrakan, tukang roti bakar, -sepatu,-gehu, -balabala menjadi docile bodies (tubuh-tubuh yang patuh) dari para konsumen. Semua orang menjelma jadi docile bodies dari pasar, karena kebutuhan intingtifnya, Freud menyebutnya id.
Karena kebutuhan id ini yang seharusnya ego bisa mengendalikan dan mengontrolnya sekarang malah kebablasan, lewat logika pasar ego dan superego bisa ditembus dan dikoyak-koyak. Perempuan dengan gampang menjual kehormatan harga dirinya hanya untuk menjadi artis terkenal, ustadz-ustadz dengan tanpa disadari mengemas ayat-ayat suci untuk menaikkan pamornya. Sehingga norma, agama dan pedoman-pedoman luhur yang dahulu bisa menjadi acuan baik dan benar terkalahkan oleh kebutuhan liar id, ego dan superego dibekuk habis-habisan.

/4/

Dalam rangka pertempuran melawan id-lah tulisan ini sengaja dibuat, ingin membuktikan bahwa ada tujuan lain yang lebih mulia dari yang id katakan. Id diidentikkan dengan pemujaan terhadap tubuh, pemenuhan kepuasan yang bersifat badani seperti makan, minum, hubungan seks, uang, dan juga popularitas bisa digolongkan pada kebutuhan id manakala popularitas menjadi sebuah tujuan dan kebutuhan bukan efek dan implikasi dari sebuah tindakan.
Apa yang mesti kita tempuri adalah cara pandang terhadap kebutuhan-kebutuhan id yang kadang membelenggu dan dapat menghantam ego dan superego. Keutuhan tulisan ini bukan hendak menyebutkan kebutuhan id tidak penting melainkan ingin menggugurkan anggapan bahwa “hanya” kebutuhan id saja yang mendesak, sehingga orang mau melakukan apa saja buat memenuhinya.
Uang tetap penting buat memenuhi segala kebutuhan tubuh yaitu makan, tetapi uang tidak menjadi hal yang terpenting dalam kehidupan. Pada saat ini, memang uang tetap menjadi prioritas pertama karena untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak bisa tanpa uang tetapi uang bukan kebutuhan utama dalam hidup.
Persoalan pemenuhan kebutuhan id ini berimplikasi pada pelbagai macam segi kehidupan; pertama meruaknya kejahatan kriminalitas dan sebagainya yang disinyalir dikarenakan perlombaan mencari uang yaitu keterdesakan ekonomi, kedua disintegrasi nilai yang memunculkan dekaden norma yang mempribadi sehingga menjadi kebejatan moral dan perilaku maka muncullah aktivitas korupsi dalam bidang politik, kebebasan yang jor-joran dalam pelbagai bidang seni dan budaya, ketiga melemahnya vitalitas-kreativitas dengan dalih teknis-ekonomis.
Kalaulah makan adalah salah satu upaya bertahan hidup, survival of the fittest maka pertanyaan selanjutnya adalah; untuk apa kita mempertahankan hidup? Jangan jawab untuk makan lagi, karena itu merendahkan derajat kita sebagai manusia. Makan memang hal sepele, tetapi semua hal besar berawal dari hal yang kecil. Kalau kita sering mempertanyakan tentang hidup maka kenapa tidak kita tanyakan tentang makan, dengan sangat sederhana kita bisa coba berdialog dengan diri kita seperti ini.
Untuk apa kita kuliah, supaya pintar, buat apa pintar, agar gampang mencari pekerjaan. Kenapa mesti bekerja, karena dengan bekerja kita dapat mencari uang banyak, buat apa uang banyak… ya buat makanlah, sisanya buat beli anu, anu dan anu. Kalau begini kenyataannya, siklus hidup kita ini tak bedanya dengan kambing, babi, monyet, bagong, tikus dan binatang lainnya. “Sejarah adalah peristiwa pengulangan” demikian Betrand Russel mengatakan “dan manusialah yang mengulang peristiwa itu”. Tapi yang pasti ada yang membedakan pengulangan manusia dengan siklus binatang ‘bukan? Tapi sayangnya saya tidak melihat perbedaan itu dan bahkan saya sendiri termasuk kedalam siklus pengulangan biasa itu.
Untuk itu saya ingin mengajukan beberapa gagasan “makan adalah perkara yang mesti segera dituntaskan” begitu Ahmad Wahib bilang. Kenapa mesti segera diselesaikan sebab masih banyak pekerjaan lain yang menunggu untuk segera dibereskan. Makan hanya makan, untuk mempertahankan kondisi tubuh jangan sampai juntai, sedangkan hidup bukan hanya untuk makan. Hidup untuk hidup dan untuk benar-benar hidup kita mesti mempertanyakan ulang tentang kehidupan sehari-hari kita; termasuk tentang makan, minum, kencing, merokok, tidur dan lainnya.

/5/

Teman saya sudah tiba duluan di warung itu, saya mengambil piring diisi nasi, tambah lauk pauk dan makan. Setelah saya paparkan di atas, sekarang kamu sendiri sudah tahu kenapa saya makan, tetapi saya curiga kamu sendiri nggak tahu kenapa kamu mesti makan?
Wallahu ‘alam bis showab

Bandung
11 Maret 2007