20 Maret 2007

“Hidup yang tidak dipertanyakan” demikian ungkap Socrates “tidak layak untuk dilanjutkan”. Pemeo ini sangat klasik bahkan mungkin terkesan basi, bagi mahasiswa filsafat dan yang menekuni kajian filsafat ungkapan ini sudah sangat tidak asing lagi dalam pendengarannya, seperti halnya ungkapan Socrates yang lain “…yang aku tahu adalah bahwa aku tidak tahu apa-apa”

Pemeo ini menerobos ruang dan melesat dalam lingkaran waktu sehingga terasa sangat mengabadi, selalu up to date. Hemat saya, tak ada kata ketinggalan jaman untuk menanyakan kembali arti hidup kita sekarang ini. Dahulu, sekarang, esok, kemarin sampai saat nanti juga pernyataan Sokrates itu tetap bisa berlaku.

Namun sayang, ditengah pikuknya zaman dan hiruknya masa, hanya sedikit saja orang yang mau meluangkan waktu untuk mempertanyakan “hidup”nya itu. Persoalan “hidup” bukanlah persoalan yang abstrak dan absurd seperti yang dibayangkan oleh sebagian orang.
Baca lebih lanjut

Kecurigaan

Malam itu adalah malam yang paling ramai setelah hujan seharian mengguyur kampung Bantarbolang. Kampung, yang pernah pongah dan berjaya atas nama kebesaran kepala desa yang membimbingnya; Patih Sampun.

Konon kata penduduk asli Bantarbolang, Patih Sampun itu adalah keturunan wali yang sakti mandraguna. Ada satu cerita yang sangat menarik, alkisah Patih Sampun ditugaskan membuat jalanan oleh bupati. Ketika bupati mengecek kesana, ternyata jalan belum jadi. Marahlah bupati, lalu dia menghampiri rumah Patih Sampun, disana Patih Sampun sedang tertidur.

Lalu dibangunkan nya Patih Sampun dan langsung di marahi, lantas Patih Sampun dengan tersenyum, cuma bilang “udah jadi kok jalannya… lihat aja sekarang”

Bupati balik lagi ketempat tadi, secara menakjubkan jalanan sudah jadi, rapi dan lurus, jalanan itu masih ada sampai sekarang, yakni dari alun-alun lurus sampai ke pantai utara.

 

***

Namun, keramaian di kampung Bantarbolang malam itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan kejadian Patih Sampun yang terjadi beberapa tahun silam. Keramaian di kampung Bantarbolang kali ini kurang lebih hanya disebabkan adanya rapat di rumah kepala RW yakni Pak Rusman.

Pak Rusman adalah pensiunan PNS. Ya, Pegawai Negeri Sipil, yang pada zaman kiwari, di akui atau tidak, kepikiran atau tidak, bagi sebagian orang adalah impian yang maha sempurna ketimbang menjadi orang bermanfaat seperti kata nabi.

Menjadi PNS adalah impian yang di sadari atau tidak banyak diperebutkan oleh warga Indonesia mengalahkan impian menjadi Dokter, Pilot, Insiyur seperti dahulu kala. Sampai-sampai telinga istri pak Rusman sendiri pekak ketika anaknya Hadar, ditanya mengenai cita-citanya di sekolah oleh gurunya.

Dengan antusias, Hadar menjawab “Mau jadi PNS bu…! Seperti bapak”.

Hah, …anak-anak memang sangat lucu dan menggelikan, apa yang mereka bisa pahami dari struktur kata PNS.

“ah biarin bu, namanya juga anak-anak, nanti juga lupa sendiri, minggu depan kalau ditanya lagi seperti itu, jawabnya juga pasti beda. Lagian cita-cita kan nggak seperti agama” jawab pak Rusman enteng, ketika istrinya Halimah mengadukan kejadian ini kepadanya.
Baca lebih lanjut

KEBINGUNGAN MAKMUN

Namanya Syukron Makmun. Mas Makmun masih kelihatan merenung di dalam kamarnya. Tentunya dia bukan sedang kebingungan oleh jeratan hutang yang melilit dan membelenggunya. Sebab mas Makmun tidak seperti ibu pertiwi kita ini, setiap kali pohon waktu melorotkan daun detiknya maka suara jatuhnya itu serta merta berubah menjadi dentuman jantung atau hentakan bom atom yang siap meledak dan menghancurkan jasadnya sendiri, persis amoeba yang membelahi dirinya sendiri untuk bertahan hidup.

Uraian air mata tersekap dalam keheningan malam tak pernah terberitakan apa yang dideritanya, sebab kini air mata tak berfungsi apa-apa lagi. Air mata tak akan pernah mengabarkan cerita, tawa tak membisikkan lagi ceria, dan hati tak tahu sedang merasa derita atau suka. Semuanya telah diredam dalam kamuflase bejat dan jahanam retorika.

Mas Makmun masih menunjukkan kebingungan di dalam kamarnya. Tentunya dia bukan sedang merasakan rasa sakit perutnya itu yang pernah dahulu menggagahinya selama setahun lebih sehingga dia harus mengeluarkan uang berjuta-juta, menjual tanah berhektar-hektar hanya sekedar untuk bisa buang air besar. Baca lebih lanjut