31 Maret 2008

“Manusia yang paling sadar adalah dia yang paling banyak merasa sakit. Dan yang paling cerdas diantara mereka adalah yang paling tampak kepucatan”
-Jalaluddin Al-Rumi-

Kita manusia pengcemas akan terus merasa gelisah dari gulungan hari ke hari, gumpalan waktu ke waktu, tikaman bulan ke bulan, terpaan tahun ke tahun sampai kumpulan abad ke abad. Kegelisahan itu akan terus menusuk-nusuk urat nadi hati membuat segalanya limpung, bingung. Mengoyak-ngoyak benak yang sudah dicacah habis oleh prasangka ketidakpercayaan. Mencabik-cabik dengan sebuah puisi lirih, pedih perih atau kadang kala aral jeritan sebagai sebuah wujud teriakan protes terhadap narasi agung luhur yang tidak bisa dikenali apa mangsa namanya.

Kita terperosok, terjerumus, terjebak dalam kebingungan kita sendiri yang lamat-lamat menjadi kemuakkan yang tak terbantahkan! Tak teredam bahkan dengan aungan suara ombak yang menderu. Tak terdiam bahkan dengan kesepian gurun sahara. Tak terbayarkan bahkan dengan sejuta kekayaan seluruh laut dikumpulkan. Kebingungan itu berubah menjadi kesunyian, menjadi kondisi bungkam! Yang sengaja meredam segala dendam.
Baca lebih lanjut