Apa Yang Terjadi Di Ramadhan 1436

1. Ramadhan kali ini penuh dengan godaan, di awali dengan wacana hormat menghormati, ternyata bukan hanya bendera yang perlu dihormati, tapi juga orang yang tidak puasa. Ide ini muncul dari Menteri Agama sendiri. Kaum beriman, golongan yang sedikit fanatis, ya tentu geram, “sejak kapan logika nya jadi di balik-balik gini, kok jadi orang yang puasa harus menghormati yang tidak puasa? Sudah jelas orang yang puasa sedang ibadah, lah yang tidak puasa? Kenapa harus di hormati?” begitu kilah mereka.

Pro kontra pun tak terelakkan, dengan pelbagai macam argumentasi, yang akhirnya melahirkan ucapan yang menurut saya, sedikit menyakitkan hati, bahwa orang yang puasa itu manja! Sialnya, cemoohan itu muncul dari golongan islam sendiri, mereka yang memiliki pandangan yang sedikit longgar. Menyakitkan, karena menurut saya, hal itu tak perlu di ucapkan. Tidak diucapkannya lebih bermanfaat daripada diucapkan.

2. Berita hebohnya pindah agama Lukman Sardi, sekali lagi! Muncul pelbagai macam komentar, saya menulis khusus tentang hal ini.

3. Disahkannya, pernikahan sejenis LGBT, sebetulnya bukan di negara kita, tapi di AS. Tapi, ya begitulah kita….. kita yang paling heboh.

4. Muncul wacana Islam Nusantara, ramee sekali. Kalau ini, internal umat islam sendiri.

5. Ini pas di hari raya lebaran, ada “pembakaran” mesjid di Tolikara.[]

Sosiolo-gue

Pertemuan
   
Hallo, perkenalkan namaku Ibsen. Aku paham kalau kamu kaget. Sebentar, aku bisa ramalkan, apa yang ada dalam pikiranmu sekarang. Kamu pasti bertanya-tanya; siapa sebenarnya aku?
“Nggak kenal kok sok akrab. Jangan-jangan ada maunya, jangan-jangan…” setelah pikiran ini biasanya orang-orang akan meneruskan dengan pelbagai macam pikiran negatif.
Kamu juga seperti itu? Nggak apa-apa, aku paham kok? Semua orang bereaksi sama seperti itu kalau bertemu dengan orang asing. Banyak hal yang akan diselidikinya; dari penampilan, gaya bicara dan seterusnya 
Nggak usah takut, aku orang baik-baik. Aku nggak bakal minjam uang, kalau itu yang kamu khawatirkan. Percayalah. Aku mendekatimu karena dari tadi aku perhatikan kamu seperti orang yang sedang kebingungan. Aku sangka, kamu sedang ada masalah. Aku juga seperti itu kalau sedang ada masalah.

Percayalah, wajahmu tidak sedap dipandang kalau seperti itu. Haha..

Hei lihat… kamu sudah bisa tersenyum sedikit. Yang kamu butuhkan adalah teman berbicara, untuk membagi masalah yang sedang kamu hadapi. Kalau kamu percaya, aku bisa menjadi teman itu.

Kamu lihat anak-anak yang sedang bermain itu? Iya, mereka.

Rasanya enak bukan? Kalau kita kembali menjadi anak-anak, tidak banyak pikiran hanya bermain, bermain dan bermain. Nampaknya segala sesuatunya indah di mata anak-anak. Kalaupun bertengkar tidak sampai dendam-dendaman beres hanya dengan pacantel.

Kamu tahu pacantel?

Orang tuaku yang mengenalkannya kepada ku sewaktu kecil, artinya sebuah tanda perdamaian kalau aku bermusuhan dengan anak lain. Caranya adalah dengan mengaitkan kelingking kita dengan kelingking anak lain. Ya seperti ini.

Kalau sudah pacantel maka jangan bermusuhan lagi. Pacantel seperti aturan atau norma yang mengatur supaya permainan berjalan dengan damai tidak ada perkelahian. Biasanya kalau anak yang sudah pacantel terus bertengkar lagi anak-anak lain akan mengingatkan “ kan sudah pacantel masa masih bertengkar?”

Hehe.. bagi orang dewasa nampaknya aturan pacantel sulit dilakukan, meski sudah salam-salaman sebagai tanda perdamaian, eh tetap aja gontok-gontokan, ngomongin di belakang.

Susah ya ngertiin orang dewasa. Kadang aku juga berpikir, apa sih maunya mereka?
Kenapa? Kamu juga berpikiran seperti itu, 
Terus apa yang membuat kamu punya pikiran seperti itu?
Oh… kamu dilarang-larang buat main band, diatur-atur… trus apa lagi?
Kamu juga dilarang-larang buat masuk sekolah seni? Keterlaluan.

“jangan begitu, apa kata masyarakat nanti?!” orang tua mu bilang kaya gitu? Oh aku ngerti sekarang apa masalah kamu.

Ya, seperti itulah orang tua.

Kenapa, apa itu masyarakat? Siapa itu masyarakat?
Mengapa kamu menanyakan hal itu? Hmmm… Menurut kamu sendiri, apa itu masyarakat, siapakah masyarakat itu sebenarnya?

Sebentar, sekarang kamu ada janjian nggak? Ada acara?

Nggak ada, oh baguslah kalau begitu. Aku mau ngobrol-ngobrol sebentar dengan kamu, ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan ke kamu. Rasanya tema obrolan kita tentang masyarakat bakal menarik.
Oke? Baiklah kalau begitu, aku akan membeli minuman dan beberapa makanan ringan buat menemani percakapan kita ini. Tunggu sebentar ya?

Quo Vadis Sosiologi Agama

Sosiologi [agama; selanjutnya akan disebut sosiologi saja] ibarat bayi yang baru lahir dan menunggu diberi nama. Pemberian nama itu ramai dibicarakan, diwacanakan dan didiskusikan sehingga sampai saat sekarang bayi itu bingung mau memanggil dirinya siapa.

Pada kesempatan kali ini, team redaksi ke[r]sa melakukan obrolan nyantai dengan ‘sesepuh’ atau mahasiswa sosiologi angkatan pertama. Nama aslinya Dindin tetapi lebih akrab dipanggil Kojak. Alumni? Bukan. Karena dia belum sah menjadi alumni. Dan kami sangat bangga mempunyai kakak seperti dia yang sangat mencintai, membimbing adik-adiknya sehingga pikiran untuk lulus terlupakan atau sengaja dilupakan?

Quo vadis Sosiologi di UIN? Itu tema yang team berikan. Sembari membenarkan letak duduknya dia menjawab. Kenapa mesti ada jurusan sosiologi di UIN? Kalau memakai logika dagang, pedagang akan melihat apa kebutuhan pasar supaya barang dagangannya bisa marketable, bisa terjual laris. Tidak ada pedagang yang mau rugi. Mau tidak mau, sadar tidak disadari kita ini sedang berdagang.
Baca lebih lanjut